Selasa, 05 Februari 2019

Suara Hati Teman-Teman Difabel Netra dalam Tusiwork Fest 2019


Pada hari Rabu, tanggal 26 Januari 2019 lalu, saya mengikuti acara yang sangat bagus sekali dan sangat memotivasi saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Acara tersebut bernama " Tusiwork Fest 2019" yang dilaksanakan di Go Food Festival Karebosi Link. Acara ini diselenggarakan oleh komunitas sukarelawan pendidikan bernama Tusiwork dengan kepanjangan "Tunanetra Sighted Network". Yup dari nama kepanjangannya saja sudah kelihatan komunitas ini bergerak di bidang pendidikan terkhusus kepada pemberdayaan kaum difabel netra. Saya sendiri sebenarnya sudah tergabung dalam komunitas ini sejak setahun lalu, dan mengambil peran sebagai guru bahasa inggris, bersama para sukarelawan lainnya.
Acara ini diselenggarakan sebagai wujud akhir terleselesaikannya angkatan pertama kelas pelatihan kepada kaum difabel netra yang diadakan oleh Tusiwork. Kelas tersebut antara lain kelas Bahasa Inggris, kelas Komputer, kelas Pemrograman, dan kelas Literasi (Kepenulisan). Karena acara ini diadakan di area keramaian Go Food Festival, tentunya tujuan acara ini diadakan untuk menyuarakan dan sosialisasi pentingnya persamaan hak antara kaum difabel dan non-difabel, agar kaum difabel tidak memperoleh diskriminasi oleh masyarakat, dan referensi bagi  pemerintah terhadap peningkatan fasilitas publik kepada kaum difabel, utamanya kaum difabel netra. 

Mau tahu keseruan acaranya? Berikut ulasan acaranya

Kemeriahan Acara Tusiwork Fest 2019

Jadi acara ini dirangkaikan atas beberapa kegiatan.  Kegiatan pertama dimulai dengan lantunan ayat suci Al-Qur'an oleh salah satu siswa SLB YAPTI (sekolah tunanetra yg ada di Makassar) yakni Masyita yang berumur 7 tahun. Suara merdu yang dilantunkan Masyita mampu menyejukkan hati sekaligus menggetarkan hati para pendengar yang ada di acara Tusiwork Fest 2019 dan pengunjung Go Food Festival. Masyita sendiri adalah penyandang tunanetra yang mampu menghafalkan Al-Quran layaknya hafidzhah cilik lainnya.
Kegiatan selanjutnya adalah Talkshow Interaktif dengan tema "Prestasi Mengubah Persepsi" yang menghadirkan kepala Bagian Jaminan Kesejahteraan Sosial DinSos Kota Makassar La Heru S.Sos, M.Si, beserta dua orang kaum difabel netra binaan sekolah YAPTI, yakni Nur Syarif Ramadhan dan Riska Arumdapta. Mereka berbagi pengalaman bagaimana keberadaan dan diskriminasi para kaum difabel netra ditengah publik non-difabel. Sementara sebagai pihak birokrat yang hadir, bapak La Heru menjelaskan bahwa kaum difabel netra perlu memperoleh persamaan hak di tengah diskriminasi oleh kaum non-difabel. Nur Syarif Ramadhan sendiri adalah penyandang difabel netra dengan segudang prestasi dan aktif menyuarakan isu-isu kaum difabel pada berbagai media. Nur Syarif Ramadhan ini telah menyelesaikan pendidikan S2-nya dan membuktikan kepada masyarakat   bahwa kaum difabel juga bisa berprestasi. Penyandang tunanetra kedua adalah Riska Arumdapta. Riska ini adalah alumni sekolah YAPTI yang pandai bernyanyi. Melalui suara merdunya Riska telah meraih banyak prestasi di bidang kompetisi olah vokal nasional. Mereka berdua cukup memotivasi para peserta yang hadir termasuk saya sendiri.

Talkshow Tusiwork Fest 2019 "Prestasi Mengubah Persepsi"

Foto bersama para narasumber Talkshow "Prestasi Mengubah Persepsi". Dari Ki-Ka : Sarah Fadhillah (MC); Makmum Ashari (Ketua Panitia) ; La Heru S.Sos (kepala Bagian Jaminan Kesejahteraan Sosial DinSos Kota Makassar) ; Nur Syarif Ramadhan (juara lomba esay se-asia pasifik) ; Riska Arumdapta (kaum difabel juara lomba nyanyi lokal dan nasional) ; Citra Pratiwi (moderator dan co-founder Tusiwork).

Acara inti selanjutnya adalah peluncuran buku bertajuk "Menembus Batas Jarak Pandang" yang ditulis oleh para kaum difabel netra siswa kelas Tusiwork bersama sukarelawan pengajar. Buku ini berisikan tentang kisah kehidupan sehari-hari kaum difabel netra, yang tentunya dari tulisan mereka tersirat pesan bagaimana sebenarnya masyarakat kaum non-difabel menilai mereka. Selain itu buku ini juga berisi curahan hati mereka tentang seberapa pentingnya menyuarakan hak-hak persamaan kaum non-difabel, agar memperoleh penghidupan yang layak di mata negeri ini. Peluncuran buku ini menghadirkan pembicara yang terlibat dalam penulisan buku ini, salah satunya adalah saya sendiri, bersama Sultan A Munandar (yang juga pengajar kelas literasi), Muhammad Fadhli dan Syarif Sulaiman (penyandan difabel netra). Buku ini sebenarnya merupakan rangkaian tugas para siswa dalam kelas literasi untuk menulis tentang kehidupan mereka yang akhirnya dikumpulkan menjadi satu buku sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi mereka.
Launching Buku "Menembus Batas Jarak Pandang" . Dari Ki-Ka Isran Asnawi (me) ; Syarif Sulaiman (siswa difabel netra Tusiwork) ; Sultan Munandar (pengajar kelas literasi Tusiwork) ; Muh Fadhli (siswa difabel netra Tusiwork).

Acara ini sangat menarik perhatian pengunjung dengan penampilan hiburan musik dari Ruang Baca, serta penyandang kaum difabel netra yang berbakat dalam menyanyi dan musik, yakni Niko, Ade, dan Marsel. Selain itu ada juga acara musikalisasi puisi yg juga dari penyandang difabel netra, Risya. Mereka semua menampilkan keahlian mereka dalam bakat masing-masing, dan tentunya menghibur para peserta Tusiwork Fest 2019 dan pengunjung Go Food Festival yang hadir di acara itu. Para peserta yang terhibur dalam acara ini mungkin menganggap penampilan kali ini spesial sebab para penampil adalah di luar dari biasanya yakni kaum difabel netra. Penampilan dari grup musik ruang baca juga cukup memukau dengan lagu santai mereka namun bermakna, yang berjudul "separuh puisi". Grup musik yang terdiri dari pasangan pria wanita ini aktif melantunkan lagu sambil mengkampanyekan gemar membaca melalui penampilan mereka.
Antusiasme pengunjung dan peserta dalam acara Tusiwork Fest 2019

Foto bersama kaum difabel netra dan para pengunjung acara Tusiwork Fest 2019

Suara Hati Kaum Difabel Netra dan Difabel Lainnya

Acara Tusiwork Fest ini membukakan mata hati kita bahwasanya banyak kaum diluar sana yang membutuhkan perhatian kita, dalam hal kaum difabel netra tidak butuh dikasihani, melainkan butuh dipersamakan hak dan derajatnya dengan kita.
Contoh saja celotehan teman kita Rizka Arumdapta yang juga kaum difabel netra, "dari kecil kita disekolahkan di SD-LB, SMP-LB, SMA-LB, apakah juga terus-terusan akan bersekolah di universitas LB juga ? Makan di restoran khusus LB, menikah dengan sesama LB , bergaul dengan sesama LB juga ?". Memang benar bahwasanya kaum difabel tidak harus bergaul dan berada dalam lingkungan LB secara terus menerus. Mereka butuh untuk keluar dari zona nyaman mereka agar memperoleh hak yang sama antara kaum difabel dan kaum non-difabel.
Kaum difabel tidak harus bersekolah dalam sekolah luar biasa, mereka dapat saja bersekolah di sekolah umum bersama siswa kaum non-difabel. Hal ini bertujuan agar siswa difabel tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan umum. Kaum difabel butuh berada dalam perspektif kaum non-difabel sehingga mereka tidak terus-terusan berpikir bahwa mereka adalah orang dengan keterbatasan, mereka dapat mengatur dirinya sebagai kaum non-difabel yang tidak memiliki keterbatasan dan beraksi layaknya orang normal. Pada dasarnya kaum difabel mampu berkembang tumbuh mandiri dalam keterbatasan yang dimilikinya. Dalam realita masyarakat, kita lah kaum non-difabel yang memetakan letak kaum difabel berada pada tingkat berapa, namun yang seharusnya tidak ada pemetaan tingkat-tingkat yang kita berikan terhadap setiap orang, termasuk kepada kaum difabel.
Contoh lainnya, kaum difabel seharusnya dapat dengan leluasa berjalan sendirian di tengah kota dan tempat umum menggunakan fasilitas yang ada dengan leluasa. Mereka tidak seharusnya berjalan di trotoar tanpa harus takut tertabrak tiang listrik. Mereka seharusnya dapat dengan leluasa menyeberang jalan raya tanpa harus takut tertabrak mobil. Mereka seharusnya dapat dengan mudah naik transportasi umum tanpa harus takut tersesat atau salah jalan. Mereka seharusnya dapat dengan mudah makan di restoran tanpa harus takut salah pesan menu makanan. Mereka seharusnya bersekolah di sekolah umum seperti kaum normal lainnya tanpa harus takut kesulitan belajar karena keterbatasannya dibandingkan siswa yang lain.

Solusinya ? 

Masyarakat kaum non-difabel perlu mengubah perspektif tentang keberadaan mereka, bahwa mereka seharusnya tidak dikasihani, melainkan diperluas ruang geraknya tanpa batas. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara jangan pernah merendahkan keterbatasan yang dimiliki kaum difabel. Dengan keterbatasan mereka, justru mampu memaksimalkan indera mereka yang lain. Misalkan kaum difabel netra terbatas dalam melihat, makan mereka mampu memaksimalkan indera pendengarannya, dengan cara aktif bermain musik atau olah vokal. Tak salah bila banyak kaum difabel netra yang sangat berbakat dalam hal bernyanyi dan musik. Karena mereka tak mampu melihat, bukan berarti mereka tak bisa membaca buku dan mengakses komputer, justru mereka dapat mengakses semua hal tersebut, bshkan menjadi penulis yang handal. Saat ini sudah banyak beredar buku audio atau buku elektronik yang dapat diakses oleh kaum difabel netra. Selain itu juga, sudah banyak komputer yang menghasilkan luaran berupa suara yang dapat diakses kaum difabel netra. Dengan prestasi yang mereka hasilkan, sangat patut diapresiasi dan diacungi jempol dan menjadi motivasi bagi kita, bahwa mereka saja dengan keterbatasannya mampu menghasilkan karya, kenapa kita tidak?

Pentingnya peran pemerintah juga sangat berpengaruh dalam hal ini. Melalui banyaknya media yang menyuarakan hak kaum difabel netra, seharusnya pemerintah mampu mendengarkan aspirasi mereka dengan banyak membangun fasilitas umum yang dapat diakses kaum difabel. Contohnya setiap tanda jalan atau tanda-tanda di tempat umum diselingi dengan huruf timbul, atau lampu jalan yang dapat bersuara sehingga memberi kode kepada kaum difabel apakah sudah dapat lewat atau tidak. Sekolah-sekolah umum juga seharusnya dapat menerima siswa kaum difabel tanpa membedakan atau pandang bulu. Siswa bersangkutan cukup dapat didampingi oleh kaum non-difabel yang dapat membantu aksesibilitas dalam menangkap ilmu dan pelajaran di sekolah, agar tidak mengalami ketertinggalan akibat harus beradaptsi dan sama dengan siswa umum.

Hingga saat ini sudah banyak komunitas-komunitas sosial yang tercatat dalam dinas sosial dalam berperan untuk pemberdayaan kaum difabel. Tugas kita sebagai kaum non-difabel adalah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut, guna meningkatkan kesadaran kita terhadap persamaan hak mereka. Selain itu juga kita dapat belajar bagaimana bertenggang rasa dan peduli kepada sesama, sebab manusia adalah makhluk sosial. Disamping itu, kita dapat belajar dan meningkatkan ilmu yang kita miliki dengan  berbagi kepada mereka, sebab "tidak harus sempurna untuk dapat berbagi kepada sesama".


Bagikan

Jangan lewatkan

Suara Hati Teman-Teman Difabel Netra dalam Tusiwork Fest 2019
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

19 komentar

Tulis komentar
avatar
7 Februari 2019 pukul 22.42

Acara yang keren dan insipiratif sekali. Yup, saja setuju,
kaum difabel seharusnya dapat fasilitas pendidikan yang sama dengan non difabel. Tak mesti harus selalu disekolahkan di sekolah LB,dan bergaul hanya sesama kaum non difabel. Mereka juga perlu berinteraksi dengan kita yang non difabel. Apalagi kenyataannya banyak dari mereka yang bisa jauh lebih berprestasi dan berbakat dari kita.

Reply
avatar
7 Februari 2019 pukul 23.45

sudah saatnya mengubah sudut pandang kita dalam memandang teman - teman difabel netra. kegiatan seperti ini harus lebih sering diadakan untuk membuka mata dan telinga kita pada persoalan ini.

Reply
avatar
7 Februari 2019 pukul 23.53

Alhamdulillah kalau sudah banyak komunitas sosial yang peduli sama kaum difabel.

Sekolah juga harusnya memberi peluang kepada mereka agar bisa bersosialisasi dan bukan hanya sekedar dikasihani atau bahkan dipandang sebelah mata.

Oh yah , bukunya keren, terutama judulnya sangat pas. Menembus Batas jarak Pandang" seakan memberi tahu kalau jarak pandang itu tak berbatas.

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 01.32

wah ada Syarif. salah satu orang luar biasa yang saya kenal
meski meyandang difabel netra, tapi dia benar2 tidak kenal kata menyerah.

memang masih jadi perjuangan panjang bagi teman-teman difabel netra untuk keluar dari stigma yang menyesatkan, apalagi kalau masih ada yang menganggap mereka adalah korban kutukan. saya sendiri masih berjuang terus untuk mengubah sudut pandang saya tentang mereka.

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 05.19

Kak, saya tertarik dengan buku bertajuk "Menembus Batas Jarak Pandang" yang ditulis oleh para kaum difabel netra siswa kelas Tusiwork bersama sukarelawan pengajar. Boleh tau bagaimana proses mereka menulis? Apakah menggunakan huruf Braile yang dikonversi menjadi aksara afabet? ataukah buku ini terbit dengan huruf braile?

Terima kasih

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 06.36

Saya jadi ingat dulu di Pesta Blogger 2010, kami pernah mengundang para blogger difabel netra untuk datang. Mereka sering mengadakan pelatihan blog untuk teman-teman difabel netra lainnya. Semoga komunitas Tusiwork ini dapat mem-support teman-teman untuk dapat berkarya dan berkreasi walau dihalangi keterbatasan. Amin.

*komen ulang karena sebelumnya katanya nggak masuk ��

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 06.44

Bagus banget acara ini ya. Kita jadi tau banyaj tentang kaum difabel netra yang ternyata memiliki banyak kelebihan

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 07.37

Keren acaranya, sangat menginspirasi dibalik kekurangan ada kelebihan yang luar biasa dari kaum difabel netra. semoga makin banyak acara kayak gini.

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 07.54

Semua kita adalah sama, tak Seharusnya ada perlakuan yg berbeda, salut dengan event ini, semoga semakin banyak yg terinspirasi

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 11.32

To kak Bisot :
maaf ya template blog sy tdk bisa reply komentar langsung d bawah komentarnya, jd sy komen disini aja ^^
Jadi mereka itu menulis layaknya kita manusia normal di depan laptop. Namun perbedaanya laptop mereka sdh diatur khusus agar dapat diakses oleh kaum difabel netra. Jadi semua jenis output pada komputer akan terbaca sebagai suara yang dapat didengar oleh si pengguna. Apabila mengetik, yang akan terdengar suara mengenai kata yang mereka ketik. Mereka pun mengetik layaknya orang normal Master Typing tanpa harus melihat huruf di keyboard. Begitupun dengan penggunaan smartphone, akan terdengar suara dr setiap aktitivitas yng mereka lakukan di smartphone. Mereka bahkan punya sosmed sprti facebook, instagram, twitter, dll.
Jadi kak, buku ini terbit sebagai buku pada umumnya yg dicetak pada percetakan (non-braille) ^^

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 15.22

Yah sebenarnya memang persepsi yang menbuat kita kadang tidak ‘menerima’ dengan baik, layaknya manusia lainnya. Kalau sy liat salah satu penyebabnya adalah karena kita jarang bergaul dengan mereka sehingga tdk tahu bgmn berhdapn dgn mereka.

Saya setuju jika Difabel sekolah/kuliahnya tdk dibeda2kan

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 17.40

Pemerintah telah mengakomodir pendidikan inklusi, di mana para dufabel bisa berbaur dengan non dufabel. Mulai dari negara, pemerintah provinsi hingga kotamadya sudah mengeluarkan peraturan yang mengakomodir. Anak bubgsu saya termasuk difabel dan bersekolah di sekolah inklusi. Namun pada pelaksanaannya, sekolah inklusi ini secara keseluruhan masih ada kendala.

Acaranya bagus ya, sayangnya saya ndak bisa hadir.

Kayaknya Citra Pertiwi (moderatornya) blogger juga, ya?

Eh ketua AM, Evhy Kan bergiat juga di komunitas ini, ya?

Semoga eksis Tusiwork mengedukasi. Semoga Kak Izran senantiasa diberi kemudahan untuk mengadvokasi masyarakat.

Reply
avatar
8 Februari 2019 pukul 19.26

Acara yang keren ini, semoga teman teman difabel makin semangat berkarya.

Reply
avatar
9 Februari 2019 pukul 19.54

semangat terus kalian teman2 tusiwork
semoga pemerintah sering mengambil tindakan yang kalian harapkan
semoga teman2 difabel bisa lebih produktif terus kedepannya
salam ability

Reply
avatar
9 Februari 2019 pukul 20.47

Senang sekali baca postingan ini, karena semakin banyak yang peduli dengan teman-teman kita para difabel.

Ya karena sudah seharusnya mereka juga bisa produktif, bisa berkarya seperti apa yang selama ini kita lakukan.

Reply
avatar
10 Februari 2019 pukul 06.05

Kak Mugniar : k evhy ketua AM adalah founder Tusiwork dan citra blogger adalah co-founder Tusiwork 😊

Reply
avatar
10 Februari 2019 pukul 16.59

Ok makasih jawabannya, effort mereka menulis bikin saya malu 🙈 salut atas kesungguhan mereka

Reply
avatar
9 April 2020 pukul 21.59

kelinci99
Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino

Reply
avatar
30 Juli 2020 pukul 20.59

Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny

Reply

Hello, I am Izran Asnawi. A lecturer of chemistry, a coffee lover, and interested in food photography. I share my idea with philosophy of coffee, because there are a lot of story to tell start from coffee ☕

Please enter your tought here 👇🏻